Jumat, 09 Juni 2017

memahami al qur'an hadis dan ijtihad

ASSALAMU'ALAIKUM UKHTI AKHI
sebelumnya saya mau mengucapkan syukron ukh akh telah membaca dan meluang kan waktu untuk membaca blog saya yang mungkin hanya bisa memberi sedikit pengetahuan mengenai materi agama kelas X semester 1 ini semoga bisa bermanfaat untuk kita semua dan diRidhoi oleh-NYA
nah temen temen udah taukan pasti apa itu al-qur'an? yup betul kitab suci umat islam dan termasuk dalam rukun iman nah kalau sudah tau al-quran pasti sudah tau atau bahkan sering dengar dengan kata hadis dan ijtihad kan? yup pada materi kali ini saya akan membahas materi tersebut, apasih perbedaannya mungkin kita sering dengar tapi kurang mendalaminya.
nah yuk simak uraian berikut untuk menambah sedikit pengetahuan kita.
A.   Memahami Al-Qurān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam Sumber hukum Islam

merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Ia menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Ia menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat
mengalirnya sesuatu. Oleh karena itu, sebagai sumber  yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang yang sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam yaitu: al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihād. Al-Qur’ānul Karim
 1. Pengertian al-Qur’ān Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah  Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mus¥af, dimulai dengan surah al-Fātihah dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
Artinya:  “Sungguh, al-Qur’ān ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isrā/17:9)
2. Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”  (Q.S. an-Nisā’/4:59)
Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’ān) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau   mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisā’/4:105) Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim) Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
3. Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān 


Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
 a.Akidah atau Keimanan Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu ³mān), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.
b. Syari’ah atau Ibadah Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan ‘ibadah ma¥«ah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu ma¥«ah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
-1)  Hukum Ibadah Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa dan lain sebagainya.
-2)  Hukum Mu’amalah Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dengan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.
 c. Akhlak atau Budi Pekerti Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik akhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt.– hubungan manusia dengan manusia – dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.    Hadis atau Sunnah
1. Pengertian Hadis atau Sunnah Secara bahasa hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis  juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

 a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang.
b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw. c. Rawi, adalah orang yang meriwayatkan hadis.
2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah alQur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam alQur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya : “... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-¦asyr/59:7)
Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80) Nah, kamu sudah paham, bukan, tentang peran penting hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān? Sekarang mari kita lihat kedudukan hadis terhadap sumber hukum Islam pertama yaitu al-Qur’ān.
3.  Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan sebagai berikut.
 a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah śalat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)
b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
 c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
 d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw :
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
4. Macam-Macam Hadis Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
 a. Hadis Mutawattir Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)
 b. Hadis  Masyhur Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)
c. Hadis ayat Hadis ayat adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut.
 1) Hadis Śa¥i¥ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
2) Hadis ¦asan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śa¥i¥, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
3) Hadis ¬a’³f, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śa¥i¥ dan hadis ¥asan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
4) Hadis Mau«u’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak. Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis
IJTIHAD SEBAGAI UPAYA MEMAHAMI AL-QUR’AN & HADIS
1.  PENGERTIAN IJTIHAD

Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan,bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga , atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan fikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid.

2.SYARAT-SYARAT BERIJTIHAD

Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid,dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad. 
a.       Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
b.      Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih dan tarkh(sejarah).
c.       Memahami cara merumuskan hukum(istinbat).
d.      Memiliki keluruhan akhlak mulia.

3.KEDUDUKKAN IJTIHAD

Ijtihad memiliki kedudukkan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw :

Memahami Ijtihād Sebagai Sumber Hukum Islam

Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Rasulullah saw juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad sesuai dengan kemampuannya dan ilmunya, kemudia ijtihadnya benar, maka ia mendapat 2 pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan 1 pahala.
Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:

Memahami Kedudukan Ijtihād Sebagai Sumber Hukum Islam

Artinya: “Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
4. BENTUK-BENTUK IJTIHAD

a. ijma’
ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-qur’an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-qur’an/hadist dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contohnya adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka dan narkoba. Karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan.
Khamr dalam al-Qur’an diharamkan, sebagaimana firman Allah  Swt:


                Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)


c. Maslahah mursalah yaitu penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemananfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at islam. Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar kerugian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
Para ulama membagikan hukum islam dalam 2 bagian yaitu:
  1. Hukum taklifi (tuntutan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan)
  2. Hukum wad’i ( perintah Allah Swt. yang merupkan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.)

Hukum taklifi terbagi menjadi 5 bagian:
1.    Wajib (fardu)
Yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa.
2.    Sunnah (mandub)
Yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa.
3.    Haram (tahrim)
Yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuensinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan, akan mendapat dosa dan hukuman.
4.    Makruh (karahah)
yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
5.    Mubah (al-ibahah)
yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar