Sabtu, 08 Desember 2018

BAB VIII MAWARIS

BAB VIII

MAWARIS
Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan, 2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan 3) satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris. Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah). Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Qur±n yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. anNaml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.” Demikian juga dalam hadis Nabi saw. disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu far±idh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut
C. Dasar-Dasar Hukum Waris Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur±n, kemudian AsSunnah/hadis dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
1. Al-Quran Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Quran dan Hadis Rasulullah saw. Banyak ayat al-Qur±n yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa’/4:7:



Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa’/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S alAhzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad. 2. As-Sunnah a. Hadis dari Ibnu Mas’ud berikut.
 





Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, katanya: Bersabda Rasulullah saw..: “Pelajarilah
al-Qur±n dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan
ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang
akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua
orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya;
maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan
pemecahan masalahnya kepada mereka”. (¦.R. Ahmad).
b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:

 Artinya: “Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (¦.R. Abµ Daµd dan Ibnu M±jah). Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
1.      Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam. Di bawah ini secara ringkas dapat dikemukakan tabel hukum waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam.
·         D. Ketentuan Mawaris dalam Islam
1. Ahli Waris
·         Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang
·         meninggal dunia ada 25 orang, yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki
·         yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah
·         diambil oleh zawil furud dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang
·         biasa disebut ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan).


·         2. Syarat-Syarat Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syaratsyarat
sebagai berikut.
·         a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang
untuk mendapatkan warisan.
·         b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan
vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang
hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
·         c. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal
dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah
seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima
warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin
telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa
sebab sebagai berikut.
a. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak
dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya
saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari
jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. berfirman dalam Q.S.
an-Nisa’/4:33:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...
b. Pernikahan, yaitu akad yang sah untuk menghalalkan berhubungan
suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum
berduaan dengannya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa/4:12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”
Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa
idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan
meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak
wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia
tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi.


1.      Sebab sebab tidak mendapatkan harta warisan
ü  Kekafiran
ü  Pembunuhan
ü  Perbudakan
ü  Perzinahan
ü  Li’an

2.      Ketentuan pembangian harta warisan
Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli
waris ashabul furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli warisashabah
(yang bagiannya berupa sisa setelah diambil olehashabul furud).


a. Ahli waris asabah
Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah
diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa/4 dengan pembagian terdiri
dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.

1) Mendapat ½
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu
perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
b) Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara
perempuan.
c) Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari
anak laki-laki
d) Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada
saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada
cucu dari anak laki-laki.
e) Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki,
tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

2) Mendapat ¼
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki
atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b) Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki
atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

3) Mendapat 1/8
Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami
memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak lakilaki.
Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata
di antara semua istri.

4) Mendapat 2/3
a) Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak
ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c) Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada
saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau
perempuan sekandung atau sebapak.
d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada
saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki
atau perempuan sekandung atau sebapak.

5) Mendapat 1/3
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki,
cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki
dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan,
jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki,
cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c) Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau
empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara
kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.




6) Mendapat 1/6
a) Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau
cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua
yang sekandung atau sebapak atau seibu.
b) Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya
ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka
bagiannya dibagi rata.
c) Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal
memiliki anak atau tidak.
d) Kakek, jika tidak ada bapak.
e) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang
meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki,
cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
f ) Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak
perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak
laki-laki paman dari bapak.
g) Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan
sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada
ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki.


b. Ahli Waris ‘Asabah
Ahli waris asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak
ditetapkan bagiannya dalam furμyang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6,
1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabulfurμmengambil
bagiannya. Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan
jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris
lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak
mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furμd,
ia menerima sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis
terbagi oleh ashabulfurμd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari
harta warisan tersebut.
Ahli waris asabah terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Asabah binnas±(hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
a) Asabah bi an-nafsi, yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami,
saudara laki-laki seibu, dan mutiq yang memerdekakan budak),
mereka adalah sebagai berikut.
1) Anak laki-laki
2) Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
3) Ayah
4) Kakek ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah
12) Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah
Untuk lebih memahami derajat kekuatan hak waris ‘asabah bi annafsi,
maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan
menjadi empat arah yaitu, sebagai berikut.

1) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak lakilaki,
mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari
pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan
seterusnya.
3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun
hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak
termasuk, karena termasuk aŝhabul furūd.
4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah,
termasuk keturunan mereka dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli
waris aŝabah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi
arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada,
maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya.


b) Asabah bil ghair
Ahli waris ‘a£abah bil ghair ada empat (4), semuanya dari kelompok
wanita. Dinamakan ‘ashabah bil ghair adalah karena hak ‘a£abah
keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka
dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘a£abah lain (asabah bin
nafsih). Adapun ahli waris asabah bil ghair yaitu:

1) Anak perempuan bisa menjadi ‘asabah bila bersama dengan
saudara laki-lakinya.
2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi ‘asabah
bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki
pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat
dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘asabah bila
bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan seayah akan menjadi ‘asabah bila bersama
dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan. Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah
dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi
mereka.

c) Asabah ma’al gair
Orang yang termasuk ‘a£abah ma’al gair ada dua, yaitu seperti
berikut ini.
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada
bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama
putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan
keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama
dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari
anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
Adapun landasan hukum adanya ‘a£abah ma’al gair adalah hadis
Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak
waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki,
dan saudara perempuan sekandung atau seayah. Abu Musa
menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan
separo.” (¦R. Al-Bukhari).
Aktivitas Siswa
2. Asabah bissabab (karena Sebab)
Yang termasuk ‘asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang
yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan.
Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua
ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus
diperhatikan, seperti berikut ini.
a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak
mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki
dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya
adalah anak laki-laki (asabah).
b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak
mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak
perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai
asabah.
c) Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka
yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu:
ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan
pembagian sebagai berikut.
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah
1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan
sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat
anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah
1/6, ibu 1/6, suami 1/4 dan sisanya anak laki-laki dan perempuan
sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat
anak perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar