ISLAM PADA MASA MODERN
1.1
Latar
Belakang
Islam
telah ada sejak zaman kenabian. Sejak itu Islam terus berkembang hingga saat
ini. Namun, perkembangan islam tidak semudah apa yang kita lihat seperti saat
ini ,ajaran islam juga mengalami kemunduran hingga akhirnya berjaya hingga saat
ini.
Periode setelah 1800 masehi
dikatakan sebagai islam modern, termasuk di dalamnya saat
ini. Dimasa ini banyak perkembangan dalam kehidupan
islam, yang meliputi pendidikan, politik, perdagangan dan kebudayaan.
Seluruh perkembangan islam terbagai menjadi 3 periode, yakni pertama disebut
dengan periode klasik (650-1250M). Periode kedua disebut periode
pertengahan (1250-1800M). Periode ketiga adalah periode modern (1800-sekarang).
Masa pembaharuan (modern) bagi dunia
Islam adalah masa yang dimulai dan tahun 1800 M sampai sekarang. Masa
pembaharuan ditandai dengan adanya kesadaran umat Islam terhadap kelemahan
dirinya dan adanya dorongan untuk memperoleh kemajuan dalam berbagai bidang,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa pembaharuan
ini, telah muncul tokoh tokoh pembaharu dan pemikir Islam di berbagai negara
Islam. Pada awal masa pembaharuan, kondisi dunia Islam, secara
politis berada dibawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20
M, dunia Islam bangkit memerdekakan negaranya dan penjajahan bangsa Barat
(Eropa).
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan Islam
modern?
2. Apa saja factor-faktor yang
mempengaruhi?
3. Bagaimana pusat-pusat peradaban
Islam modern?
4. Siapa saja tokoh pemikir Islam dalam
bidang agama, politik dan hikmah?
2.1 Perkembangan Islam Modern
Periode modern dalam sejarah
perkebangan Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang.
Pada awal periode ini, kondisi dunia islam secara politis berada di bawah
penetrasi/ kekuasaan kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M dunia islam
bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat. Periode ini memang
merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di
periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan
dalam Islam.
Gerakan modernisasi dalam dunia
Islam dipelopori oleh para tokoh Islam yang berusaha sekuat tenaga untuk
kembali kepada ajaran Islam yang benar, dan berusaha kembali untuk memajukan
Islam dan umatnya. Para pemimpin islam menyadari kelemahan, ketertinggalan, dan
keterbelakangan dari berbagai aspeknya, setelah banyak diantara mereka yang
berdialog atau berhadapan langsung dengan kemajuan peradaban bangsa Barat.
Menjelang dan
pada awal-awal masa pembaharuan yaitu sebelum dan sesudah tahun 1800 M, umat
Islam di berbagai negara, telah menyimpang dari ajaran Islam yang bersumber
kepada Al-Qur’an dan Hadis. Penyimpangan itu terdapat dalam hal :
a. Ajaran Islam
tentang ketauhidan telah bercampur dengan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan
banyaknya umat Islam yang selain menyembah Allah SWT juga memuja makam yang
dianggap keramat dan meminta tolong dalam urusan gaib kepada dukun-dukun dan
orang-orang yang dianggap sakti. Selain itu, ada juga kelompok umat Islam yang
meng kultuskan dan beranggapan bahwa sultan adalah orang suci yang segala
perintahnya harus ditaati.
b. Adanya kelompok
umat Islam, yang selama hidup di dunia ini, hanya mementingkan urusan akhirat
dan meninggalkan dunia. Mereka beranggapan hahwa memiliki harta benda yang
banyak, kedudukan yang tinggi dan ilmu pengetahuan tentang dunia adalah tidak
perlu, karena hidup di dunia ini hanya sebentar dan sementara, sedangkan hidup
di akhirat bersifat kekal dan abadi. Selain itu, banyak umat Islam yang
menganut paham fatalisme, yaitu paham yang mengharuskan berserah diri kepada nasib
dan tidak perlu berikhtiar, karena hidup manusia dikuasai dan ditentukan oleh
nasib.
Penyimpangan-penyimpangan
umat Islam terhadap ajaran agamanya seperti tersebut, mendorong lahirnya para
tokoh pembaharu, yang berusaha menyadarkan urnat Islam agar kembali kepada
ajaran Islam yang benar, yang bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah
(Hadis). Tokoh-tokoh
pembaharu yang dimaksud antara lain:
1. Muhammad
bin Abdul Wahhab
lahir di Nejd (Arab Saudi) pada
tahun 1115 H (1703 M) dan wafat di Daryah tahun 1201 H (1787 M). Muhammad bin
Abdul Wahhab adalah seorang ulama besar yang produktif, karena buku-buku
karangannya tentang Islam, mencapai puluhan judul. Di antara buku bukunya berjudul
“Kitab At-Tauhid” yang isinya antara lain tentang pemberantasan syirik, khurafat,
takhayul, dan bid’ah yang terdapat di kalangan umat Islam dan
mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang murni. Para pengikut
Muhammad bin Abdul Wahhab, menamakan kelompoknya dengan “A1-Muwahhidun” atau
“Al-Muslimun”, yang artinya kelompok yang berusaha mengesakan Allah SWT
semurni-murninya. Gerakan pemurnian ajaran Islam yang dilakukan oleh para
pengikut Muhammad bin Abdul Wahhah ini, dinamakan juga gerakan “Wahabi”.
2. Rifa’ah
Badawi Rafi’ At-Tahtawi, atau At-Tahtawi
, lahir di Tahta pada tahun 1801 M
dan meninggal di Mesir. Pemikirannya yang berkaitan dengan ajaran Islam, antara
lain, beliau menyerukan agar umat Islam dalam hidup di dunia ini tidak hanya
mementingkan urusan akhirat, tetapi juga harus mementingkan urusan dunia, agar
umat Islam tidak dijajah oleh hangsa lain.
3. Jamahiddin
Al-Afghani,
lahir di Asadabad tahun 1838 M dan
wafat di Istanbul rahun 1897 M. Di antara pemhaharuan pemikiran yang
dimunculkan beliau adalah :
a) Agar kejayaan umat Islam dapat
diraih kembali dan mampu menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali
kepada ajaran agamanya yang murni dan harus memahami Islam dengan rasio dan
kebebasan.
b) Jamaluddin menginginkan agar kaum
wanira juga meraih kemajuan dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang dinamis dan maju.
c) Kepemimpinan otokrasi hendaknya
diubah menjadi demokrasi Menurut pendapatnya Islam menghendaki pemerintahan
republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengemukakan pendapat dan
kewajiban negara untuk tunduk kepada undang undang.
d) Ajarannya tentang Pan-Islamisme
yakni persatuan dan kerjasama seluruh umat Islam harus diwujudkan. Karena
persatuan dan kerja sama seluruh umat Islam sangat penting dan di atas
segalanya.
Selain
tokoh-tokoh pembaharuan tersebut, masih banyak lagi tokoh-tokoh pembaharuan
lainnya, seperti Muhammad Abduh di Mesir (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla
(1865-1935 M), Sayid Ahmad Khan di India (1817- 1898 M), dan Muhammad Iqbal di
Pakistan (1876-1938 M).
Pada masa
pembaharuan jumlah penduduk beragama Islam berkembang terus ke seluruh pelosok
dunia. Penduduk Muslim terbanyak terdapat di Benua Asia dan Afrika. Mengacu
kepada data penduduk tahun 1991 M, negara-negara yang penduduk Muslimnya lebih
dan 90 % adalah Mauritania, Sahara Barat, Maroko, Aijazair, Tunisia, Libia,
Mesir, Somalia, Turki, Irak, Yordania, Arab Saudi, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain,
Iran, Afghanistan, dan Pakistan.
Sedangkan
negara-negara yang jum!ah umat Islamnya mencapai 50—90 % adalah Tanzania
(Afrika), Turkemenistan, Uzbekistan, Kirghistan, Tajikistan (Rusia),
Bangladesh, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Kepulauan Mindanou di
Filipina. Negara-negara yang umat Islamnya 10—50 % antara lain seperti Guinea
(Afrika), Albania, Suriah, India, Gina, dan Myanmar.
Untuk mengikat
negara-negara Islam di seluruh dunia, pada bulan Zulhijjah tahun 1381 H (Mei
1962), telah didirikan Rabithah Al-Alam Al-Islami (Muslim world
League atau Liga Dunia Islam) sebuah organisasi Islam internasional
non-pemerintah yang tidak berpihak kepada suatu partai atau golongan dan
mewakili umat Islam sedunia. Liga Dunia Islam ini berkantor pusat di Mekah
(Saudi Arabia), sedangkan kantor perwakilannya tersebar di seluruh dunia,
seperti Indonesia, Amerika, Kanada, Denmark, Malaysia, dan Prancis.
Di Benua Eropa
dalam Conference of Islamic Cultural Centre and Organization of
Europe (Konferensi Pusat Kebudayaan dan Organisasi Islam Eropa) di
London pada bulan Mei 1973, dengan diprakarsai oleh Sekretariat Islam di Jeddah
telah didirikan Dewan Islam Eropa, yang bertujuan untuk mengorganisir dan
memajukan usaha-usaha dakwah islamiah.
2.2 Faktor-faktor
a. Kesadaran
Melakukan Pembaharuan Pemikiran, Politik dan Peradaban
Pembaruan dalam Islam yang timbul
pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa umat Islam pada
kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan Islam
dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran.
Persentuhan dengan Barat menyadarkan
tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit
dengan mencontoh Barat dalam masalah masalah politik dan peradaban untuk
menciptakan keseimbangan kekuatan (balance of power). Hal ini
tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke
negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan
gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar
India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan
pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang
tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul
adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia)
yang pada awalnya didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiayah. Namun,
gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal,
Jamaludin al-Afghani. Al-Afghani-lah orang pertama yang menyadari sepenuhnya
akan dominasi Barat dan bahayanya.
Gagasan
nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam
melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat
oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga
pendidikan barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada
mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang
tidak sejalan dengan semangat uóuwaú al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini
berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme redup.
b. Kemerdekaan Negara
Mayoritas Islam dari Penjajahan Bangsa Barat
Negara berpenduduk mayoritas Muslim
yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, tanggal 17
Agustus 1945. Pakistan tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan
kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan
satunya untuk Pakistan.
Mesir tanggal 23 Juli 1952
menganggap dirinya benar - benar merdeka. Pada tahun 1951 di Afrika, tepatnya
Libiya merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Aljazair tahun 1962. Semuanya
membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara,
Yaman selatan dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia tenggara,
Malaysia, yang saat itu termasuk Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris
pada 1957, dan Brunai Darussalam pada 1984 M.
Demikianlah, satu persatu
negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan. Bahkan, beberapa
diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negera
Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia,
Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan dan Azerbaijan pada tahun 1992 dan Bosnia
memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992.
2.3 Pusat Peradaban
1. Kerajaan
Safawi di Persia
Dinasti
Safawiyah di Persia berdiri sejak tahun (1502-1722 M). (Hasan ibrahim
hasan. 1989:336). Dinasti Safawiyah merupakan kerajaan islam di persia yang
cukup besar. Awalnya kerajaan Safawi brasal dari sebuah gerakan tarekat yang
berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat
Safawiyah, yang diambil dari nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat
ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan
ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan safawi. Shafi Ad-Din merupakan
keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim gurunya bernama Syaikh
Tajuddin Ibrahim zahidi (1216–1301). Shafi ad-Din mendirikan tarekat safawiyah
setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301
M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Tarekat safawiyah
diambil dari nama pendirinya, safi ad-Din dan nama syafawi terus di pertahankan
sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Nama itu terus di lestarikan setelah
gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan (Badri Yatim.2000:138).
Di
persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan suatu kerajaan besar di
dunia islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi syekh ishak safiuddin dari
ardabil di azerbaijan yang beraliran syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di
daerah persia (Nasution, op.cit.,:84)
Keadaan
politik dinasti syafawi mulai bangkit kembali setelah Abbas 1 naik tahta dari
tahun 1587- 1629 yang menata administasi negara dengan cara yang lebih baik
(Marshal G.S hodson, t.th.:38). Masa kekuasaan Abbas 1 merupakan puncak
kejayaan kerajaan syafawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut
di dalam negeri yang menggangu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali
wilayah wilayah yang pernah di rebut oleh kerajaan lain pada masa raja raja
sebelumnya. Usaha usaha yang di lakukan Abbas 1 berhasil membuat kerajaan
safawi menjadi kuat. Setelah itu Abbas 1 mulai memusatkan perhatiannya keluar
dengan berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya yang
hilang (Badri Yatim.1997:143).
Selama
periode safawiyah di persia ini (1502-1722 M) persaingan untuk mendapatkan
kekuasaan antara turki dan persia menjadi kenyataan. Peperangan ini berasal
dari kebencian Salim 1 yang berasal dari turki dan pengejaran terhadap seluruh
umat muslim di syi’ah di daerah kekuasaanya. Fanatisme sultan salim memaksanya
untuk membunuh 40.000 orang yang di dakwa telah mengingkari ajaran ajaran sunni
( hasan ibrahim hasan. 1989:336-337).
a. Kemajuan
Dinasti Syafawi
Kemajuan
peradaban dinasti safawiyah tidak hanya terbatas dalam bidang politik tetapi
kemajuan dalam berbagai bidang:
1) Bidang keagamaan
Pada
masa Abbas,dalam bidang keagamaan yang menanamkan sikap toleransi terhadap
politik keagamaan tau lapang dada yang amat besar. Paham syi’ah tidak lagi
menjadi paksaan bahkan orang sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya
(Hamka. 1981:70).
2) Bidang arsitektur
Kerajaan
safawi telah berhasil menciptakan isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang
sangat indah. Di kota ini berdiri bangunan bangunan besar dengan arsitektur
bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan
raksasa di atas zende rud, dan istana chihil sutun. Dalam kota isfahan terdapat
162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum (Marshal G.S
hodgson.1981:40).
3) Bidang ekonomi
Kerajaan
syafawi pada massa Abbas 1 ternyata telah memacu perkembangan perekonomian
syafawi, terlebih setelah kepulauan hurmuz di kuasai dan pelabuhan gumrun
diubah menjadi bandar Abbas. Yang merupakan salah satu jalur dagang laut antara
timur dan barat yang biasa di perebutkan oleh belanda, inggris, dan perancis
sepenuhnya telah menjadi milik kerajaan syafawi. Di samping sektor perdagangan,
kerajaan syafawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah
bulan sabit subur( Badri Yatim.1997:144).
4) Bidang ilmu pengetahuan
Berkembangnya
ilmu pengetahuan masa kerajaan syafawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar
bahwa kaum syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum
syi’ah tidak seperti kaum sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti
dan orang mesti taqlid saja. Kaum syi’ah tetap berpendirian bahwasannya
mujtahid tidak terputus selamanya (Hamka. 1987:70).
Beberapa
ilmuan yang selalu hadir di majelis istana, yaitu: Baha Al-Din Al-Syaerazi
seorang filosof dan Muhammad Bagir Ibn Muhammad Damad, seorang filosof ahli
sejarah, teolog seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan
lebah (Badri Yatim.1997:144).
5) Bidang kesenian
Kemajuan
tampak begitu jelas dengan gaya arsitektur bangunannya, seperti terlihat pada
masjid syah yang di bangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat dalam
bentuk kerajinan tangan, kerajinan karpet, permadani, pakaian. Seni lukis mulai
di rintis sejak zaman Tamasp 1, raja ismail pada tahun 1522 M. Membawa seorang
pelukis Timur ke Tabriz, pelukis itu bernama Bizhard (Marshal G.S Hodson,
t.t.:40). Pada zaman Abbas 1 berkembanglah kebudayaan, kemajuan, dan keagungan
pikiran mengenai seni lukis, pahat, syair (Hamka.1987:70).
b. Kemunduran
Dinasti Syafawi
Setelah
Abbas 1, dinasti safawi mengalami kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas 1,
melakukan penindasan dan pemerasan terhadap ulama sunni dan memaksakan ajaran
syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman sultan
husein, pengganti sulaiman. Penduduk afgan (saat itu bagian dari Iran) dipaksa
untuk memeuk syi’ah dan ditindas. Penindasan ini melahirkan pemberontakan yang
di pimpin oleh Mahmud Khan (Amir Kandahar) sehingga berhasil menguasai Herat,
Masyhad, dan kemudian merebut isfahan (1772 M). setelah itu, safawi diserang
oleh Turki Usmani dan Rusia. Wilayah Armenia dan beberapa wilayah azerbaijan
direbut oleh Turki Usmani , sedangkan beberapa wilayah propinsi laut kaspia di
jilan, mazandaran dan asteraban direbut oleh Rusia (Ira M.Lapidus,op.cit.,:299).
Setelah
sebagian besar wilayah dikuasai oleh Afghan, Turki Usmani dan Rusia, Nadir Syah
(dinasti Asfhariah) karena mendapat dukungan dari suku Zand di Iran Barat
menundukan dinasti safawiyah. Nadir Syah (bergelar Syah Iran) memadukan Sunni-Syi’ah
untuk mendapat dukungan dari Afgan dan Turki Usmani; dan ia mengusulkan agar
madzhab fiqih ja’fari (Syi’ah) dijadikan madzhab hukum yang kelima oleh ulama
Sunni. Dinasti safawi pimpinan Nadir Syah kemudian di taklukan oleh dinasti
Qajar (Ibid:300).
2. Kerajaan Mughol di India
Dinasti
Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya Dinasti Syafawi. Jadi,
di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda.
Dinasti Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak Benua India (Badri
Yatim,2008:145).
Ibrahim
Lodi (cucu sultan Lodi), sultan Delhi terakhir, memenjarakan sejumlah bangsawan
yang menentangnya. Hal ini memicu pertempuran antara Ibrahim Lodi dengan
Zahirudin Babur (cucu Timur Lenk) di panipazh (1526 M). Pada tanggal 21 April
1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat di Panipazh. Ibrahim
Lodi beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam pertempuran itu. Babur
memasuki kota Delhi sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahannya di sana.
Sejak itulah berdiri dinasti Mughal di India, dan Delhi dijadikan ibu kota.
Dinasti
ini memiliki sultan-sultan yang besar dan terkenal pada abad ke-17, yaitu Akbar
(1556-1606), Jengahir (1605-1627), Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb
(1659-1707) (Dedi Supriyadi, 2008:261).
Penguasa-penguasa
Mughal setelah Aurangzeb tidak berdaya dan tidak mampu mengembalikan supremasi
Mughal. Penguasa-penguasa Mughal sesudah Aungzeb antara lain: Bahadur Syah
(1707-1712), Azimus Syah (1712), Tihandar Syah (1713), Farukh Syiyar
(1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748). Pengganti Muhammad Syah adalah Ahmad
Syah (1748-1754), diteruskan Alamgir II (1754-1759), Sah Alam (1761-1806).
Mulai pada tahun 1761 kerajaan Mughal yang sudah tidak berdaya diserang oleh
Ajmad Shah Durrani dari Afghan pada pertempuran Pannipat. Sejak itu pelan tapi
pasti Dinasti Mughal hancur dan lenyap dari India (Ali Sodikin, dkk,
2003:219-220).
a. Kemajuan
Kerajaan Mughal
Kemajuan
yang dicapai pada masa Dinasti Mughal merupakan sumbangan yang berarti dalam
mensyiarkan dan membangun peradaban Islam di India.
Kemajuan-kemajuan tersebut antara lain :
1) Bidang Politik dan Militer
Sistem
yang menonjol adalah politik sulh e-kul atau toleransi universal,yaitu
pandangan yang menyatakan bahwa derajat semua penduduk adalah sama. Sistem ini sangat
tepat karena mayoritas masyarakat India adalah Hindu sedangkan Mughal adalah
Islam (Ali Sodikin, dkk, 2003:220). Dalam urusan pemerintahan, pada masa Akbar
menyusun pentadbiran secara teratur yang jarang taranya, sehingga Inggris satu
setengah abad kemudian setelah menaklukan India, tidak dapat memilih jalan
lain, hanya meneruskan administrasi Sultan Akbar (Dedi Supriyadi,
2008:262).
Di
bidang militer, pasukan Mughal dikenal sebagai pasukan yang kuat. Akbar Khan
menjalankan pemerintahan bersifat militeristik, pemerintahan pusat dipimpin
oleh raja; pemerintahan daerah dipimpin oleh kepala komandan (Sipah salat); dan
pemerintahan sub-daerah dipimpin oleh komandan (Faudjat) (1). Di samping itu,
Akbar pun membentuk Din Ilahi dan juga mendirikan Mansabdhari (lembaga
pelayanan umum yang berkewajiban sejumlah pasukan)(Jaih Mubarok, 2008:244).
2) Bidang Ekonomi
Kontribusi
Mughal di bidang ekonomi adalah memajukan pertanian terutama untuk tanaman
padi, kacang, tebu, rempah-rempah, tembakau dan kapas. Di samping pertanian,
pemerintahan juga memajukan industri tenun, pertambangan dan perdagangan. Di
samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil industri ini banyak diekspor ke
luar negeri seperti Eropa, Arabia, dan Asia Tenggara bersaman dengan hasil kerajinan,
seperti pakaian tenun dan kain tipis bahn gordyn yang banyak diproduksi di
Gujarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi,Jehangir mengizinkan Inggris
(1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di
Surat (Ali Sodikin, dkk, 2003:220).
3) Bidang Seni dan Arsitektur
Ciri
yang menonjol dari arsitektur Mughal adalah pemakaian ukiran dan marmer yang
timbul dengan kombinasi warna-warni. Bangunan sejarah yang ditinggalkan periode
ini adalah Tajmahal di Aqra, Benteng Merah, Jama Masjid, istana-istana, dan
gedung-gedung pemerintahan di Delhi (Ali Sodikin, dkk, 2003:221) .
Sementara
dalam bidang sastra yang paling menonjol adalah karya gubahan penyair istana,
baik yang berbahasa Persia maupun bahasa India. Pada masa Akbar berkembang bahasa
urdu, yang merupakan perpaduan dari berbagai bahasa yang ada di India. Penyair
India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayadi seorang sastrawan sufi yang
menghasilkan karya besar yang berjudul Padmavat , sebuah karya alegoris yang
mengandung pesan kebajikan jiwa manusia.
Karya
seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang
dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan
mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan
mesjid-mesjid yang indah. Pada masa Syah Jehan dibangun mesjid berlapiskan
mutiara dan Taj Mahal di Agra,Mesjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore(Dedi
Supriyadi, 2008:263).
4) Bidang Ilmu Pengetahuan
Di
bidang pengetahuan kebahasaan Akbar telah menjadikan tiga bahasa nasional,
yaitu bahasa arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan
bahasa Persia sebagai bahasa istana kesusastraan (Dedi Supriyadi, 2008:221). Di
bidang ilmu agama berhasil dikodifikasikan hukum Islam yang dikenal dengan
sebuan Fatwa-Alamgri (Ali Sodikin, dkk, 2003:221).
b. Kemunduran
dan Kehancuran Kerajaan Mughal
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut
Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa
kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat
pusat menjadi ajang perebutan, gerakan sparatis Hindu di India Tengah, Sikh di
belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam(Badri
Yatim,2008:159).
Pada
masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul,
tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan
Aurangzeb yang dengan keras menerapka pemikiran puritanisme. Setelah iya wafat,
penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang
ditinggalkan (Badri Yatim,2008:159).
Sementara
itu, para pedagang inggris (EIC) untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir
menanamkan modal di India yang didukung oleh kekuatan bersenjata menjadi
semakin kuat menguasai wilayah pantai.( Ratu Suntiah, 2010:147).
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu
setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M,
yaitu:
Terjadi stagnasi dalam
pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah
pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga
kekuatan pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan
persenjataan buatan Mughal sendiri.
·
Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik, yang
mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
·
Pendekatan Aurangzeb
yang berlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan
asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan
sebelumnya.
·
Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang
lemah dalam bidang kepemimpinan.
2.4 Tokoh Pemikir Islam Modern
a) Bidang Agama
. 1) Muhammad Rasyid Ridha
Muhamrnad Rasyid bin Al Ridha bin
Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni al-Husaini, Lahir pada tanggal 27 jumadil
awal tahun 1282 H / 1865 M di sebuah desa bernama Qalmun, di sebelah selatan
kota Tharablas (Tripoli) atau Syam, ayahnya yang sangat muhtarom hingga tak
heran jika anaknya tumbuh sebagai sosok anak yang cerdas. Muhammad Rasyid Ridha
dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat
beragama. Jika di telisik lebih jauh, ternyata Rasyid Ridha memiliki pertalian
darah dengan Husen Anak dari Ali bin Abi Thalib dan Sayidina Fatimah (putri
Rasulullah SAW).
Setelah menamatkan pelajaran
dilingkungan tempat tinggalnya, yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli ( Libanon ) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang
mengajarkan ilmu nahwu, shorof, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan
bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah
kekuasaan kerajaan Utsmaniyah.
Selain menekuni pelajaran di sekolah
tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan
dunia Islam melalui surat kabar Al-’Urwah Al-Wusqo (sebuah
surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).
Melalui surat kabar ini, Rasyid
Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu
Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad
Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu
begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung
dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.
Kegemarannya dalam membaca
kitab “Ihya Ulumiddin” karya Imam al-Ghazali yang dibacanya
berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya .
Sampai beliau pernah berkata:
“Aku selalu berusaha agar jiwaku
suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham,
serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan
yang dituangkan kedalamnya”.
Dalam rangka menyucikan jiwa inilah,
Ridha menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur,
mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi.
Melalui kuliah tafsir yang rutin
dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide
pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya,
catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru
untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah
tulisan itu diterbitkan dalam majalah al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai
tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan
menjadi Tafsir Al-Manar.
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsir
al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang
menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas yang
menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah yang berlaku terhadap
manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia
disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan
kaum Muslimin.
Di bidang agama, Rasyid Ridha
mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan
ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah
SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak
bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju,
mereka harus kembali berpegang kepada Al Quran dan Sunah. Menurutnya, Al Quran
dan Sunah harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen.
b.
Bidang Politik
1). Muhammad Rasyid
Ridha
Muhamrnad Rasyid bin Al Ridha bin
Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni al-Husaini, Lahir pada tanggal 27 jumadil
awal tahun 1282 H / 1865 M di sebuah desa bernama Qalmun, di sebelah selatan
kota Tharablas (Tripoli) atau Syam, ayahnya yang sangat muhtarom hingga tak
heran jika anaknya tumbuh sebagai sosok anak yang cerdas. Muhammad Rasyid Ridha
dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat
beragama. Jika di telisik lebih jauh, ternyata Rasyid Ridha memiliki pertalian
darah dengan Husen Anak dari Ali bin Abi Thalib dan Sayidina Fatimah (putri
Rasulullah SAW).
Setelah menamatkan pelajaran
dilingkungan tempat tinggalnya, yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli ( Libanon ) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang
mengajarkan ilmu nahwu, shorof, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan
bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah
kekuasaan kerajaan Utsmaniyah.
Selain menekuni pelajaran di sekolah
tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan
dunia Islam melalui surat kabar Al-’Urwah Al-Wusqo (sebuah
surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).
Melalui surat kabar ini, Rasyid
Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu
Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad
Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu
begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung
dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.
Kegemarannya dalam membaca
kitab “Ihya Ulumiddin” karya Imam al-Ghazali yang dibacanya
berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya .
Sampai beliau pernah berkata:
“Aku selalu berusaha agar jiwaku
suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham,
serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan
yang dituangkan kedalamnya”.
Dalam rangka menyucikan jiwa inilah,
Ridha menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur,
mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi.
Melalui kuliah tafsir yang rutin
dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide
pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan
kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat
pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah al-Manar. Kumpulan
tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang
kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsir
al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang
menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas yang
menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah yang berlaku terhadap
manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia
disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan
kaum Muslimin.
Dalam bidang politik, Rasyid Ridha
tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak
melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang terjadi
di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu
kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan
tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam
bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia
menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat
Islam) di bawah naungan khalifah.
c.
Hikmah
Ada beberapa pelajaran dan
hikmah yang dapat dijadikan cerminan terhadap penghayatan akan sejarah
perkembangan Islam pada masa pembaruan ini, diantaranya ;
1. Keyakinan bahwa Islam adalah agama
universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki
misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Untuk megembalikan masyarakat sepeperti yang dicita-citakan itu diperlukan
konsistensi menjaga nilai dan norma ajaran islam yang bersumber pada Al Qur’an
dan Hadis. Oleh karena itu, setiap aktifitas baik pribadi maupun kelompok jika
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam akan kehilangan kekuatan untuk
menjadi masyarakat berperadaban.
2. Dapat menjadi pilihan ketika
mengambil sikap. Dengan memahami warisan pengalaman sejarah kaum muslimin
yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam) setelah
mengalami keterpurukan yang luar biasa akibat keserakahan penguasa muslim dan
akibat emperialisme.
3. Pembaruan akan memberi manfaat
berupa inspirasi untuk mengadakan perubahan-perubahan. Penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan mengedepankan sisi kemanfaatan masyarakat muslim akan
menjadi pusat peradaban dunia.
4. Dalam sejarah, dikemukakan pula
masalah sosial dan politik yang terdapat di kalangan bangsa-bangsa terdahulu.
Semua itu agar menjadi perhatian dan menjadi pelajaran ketika menghadapi
permasalahan yang mungkin akan terjadi.
5. Membangun masa depan berdasarkan
pijakan-pijakan yang telah ada di masa lalu sehingga dapat membangun negara
senantiasa menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun gafur atau
negara yang baik dan mendapat ampunan dari Allah SWT
6. Sejarah dapat dijadikan sumber
inspirasi untuk membuat langkah-langakah inovatif agar kehidupan menusia dapat
damai dan sejahtera.
3.1 Kesimpulan
Islam telah ada sejak zaman
kenabian. Sejak itu Islam terus berkembang hingga saat ini. Namun, perkembangan
islam tidak semudah apa yang kita lihat seperti saat ini ,ajaran islam juga
mengalami kemunduran hingga akhirnya berjaya hingga saat ini.
Masa pembaharuan (modern) bagi dunia
Islam adalah masa yang dimulai dan tahun 1800 M sampai sekarang. Masa
pembaharuan ditandai dengan adanya kesadaran umat Islam terhadap kelemahan
dirinya dan adanya dorongan untuk memperoleh kemajuan dalam berbagai bidang,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa pembaharuan
ini, telah muncul tokoh tokoh pembaharu dan pemikir Islam di berbagai negara
Islam. Pada awal masa pembaharuan, kondisi dunia Islam, secara
politis berada dibawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20
M, dunia Islam bangkit memerdekakan negaranya dan penjajahan bangsa Barat
(Eropa).
Gerakan modernisasi dalam dunia
Islam dipelopori oleh para tokoh Islam yang berusaha sekuat tenaga untuk
kembali kepada ajaran Islam yang benar, dan berusaha kembali untuk memajukan
Islam dan umatnya. Para pemimpin islam menyadari kelemahan, ketertinggalan, dan
keterbelakangan dari berbagai aspeknya, setelah banyak diantara mereka yang
berdialog atau berhadapan langsung dengan kemajuan peradaban bangsa Barat
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar